Dengan senyum sumringah Bu Mus
berdiri dan mengahampiri orang tua kami masing-masing. Mengabsen anak-anak
murid barunya dan segera mengatur tempat duduk kami. Sedangkan aku masih belum
mendapatkan teman sebangku. Terlihat anak berambut merah ikal yang sedari awal tadi tak kukenal begitu
bersemangat untuk segera masuk ke dalam kelas.
‘Anak Pak Cik akan duduk bersama Lintang’ seru Bu Mus.
Oh Lintanglah namanya, seruku di dalam hati.
Terlihat
di luar kelas ayah Lintang berbincang agak lama dengan Bu Mus. Menceritakan
latar belakang keluarganya dan apa tujuannya menyekolahkan Lintang di SD
Muhammadiyah ini. Keluarga Lintang adalah keluarga nelayan yang bertempat
tinggal di ujung Sumatra, mayoritas penduduk di sana adalah menjadi nelayan.
Dan ayah Lintang ingin agar anak tertuanya tidak menjadi seperti dirinya dan
keluarga besarnya yang tidak pernah mengenyam pendidikan dan menjadi nelayan
hingga sampai saat ini.
Bu
Mus mengelompokkan kami berdasarkan kemiripan. Aku di tempatkan bersama Lintang
karena rambut kami yang sama-sama ikal. Mahar bersama Trapani karena mereka
berdua sama-sama tampan. Bore dan kucai
ditempat dudukkan bersama bukan karena kemiripan melainkan karena mereka berdua
sama-sama susah diatur. Dan Sahara bersama
Akiong. Pagi itu, pandanganku lebih terpaku kepada Lintang. Anak berambut ikal
keturunan nelayan yang akan mengubah sekolah nan miskin ini menjadi lebih
gemilang dengan tulisan-tulisan cerdasnya yang sudah terlihat sejak hari ini.
Suatu perasaan yang tidak akan aku lupakan sampai bertahun-tahun lamanya.
0 comments:
Posting Komentar