Rabu, 13 April 2016

Laskar Pelangi: Antediluvium

            Dengan senyum sumringah Bu Mus berdiri dan mengahampiri orang tua kami masing-masing. Mengabsen anak-anak murid barunya dan segera mengatur tempat duduk kami. Sedangkan aku masih belum mendapatkan teman sebangku. Terlihat anak berambut  merah ikal yang sedari awal tadi tak kukenal begitu bersemangat untuk segera masuk ke dalam kelas.
‘Anak Pak Cik akan duduk bersama Lintang’ seru Bu Mus.
Oh Lintanglah namanya, seruku di dalam hati.
              Terlihat di luar kelas ayah Lintang berbincang agak lama dengan Bu Mus. Menceritakan latar belakang keluarganya dan apa tujuannya menyekolahkan Lintang di SD Muhammadiyah ini. Keluarga Lintang adalah keluarga nelayan yang bertempat tinggal di ujung Sumatra, mayoritas penduduk di sana adalah menjadi nelayan. Dan ayah Lintang ingin agar anak tertuanya tidak menjadi seperti dirinya dan keluarga besarnya yang tidak pernah mengenyam pendidikan dan menjadi nelayan hingga sampai saat ini.

               Bu Mus mengelompokkan kami berdasarkan kemiripan. Aku di tempatkan bersama Lintang karena rambut kami yang sama-sama ikal. Mahar bersama Trapani karena mereka berdua sama-sama tampan.  Bore dan kucai ditempat dudukkan bersama bukan karena kemiripan melainkan karena mereka berdua sama-sama susah diatur.  Dan Sahara bersama Akiong. Pagi itu, pandanganku lebih terpaku kepada Lintang. Anak berambut ikal keturunan nelayan yang akan mengubah sekolah nan miskin ini menjadi lebih gemilang dengan tulisan-tulisan cerdasnya yang sudah terlihat sejak hari ini. Suatu perasaan yang tidak akan aku lupakan sampai bertahun-tahun lamanya.

0 comments:

Posting Komentar

 

Salazen Grum Template by Ipietoon Cute Blog Design