Aku pernah membaca kisah tentang wanita yang membelah batu
karang untuk mengaliran air, wanita yang meneggelamkan diri belasan tahun
sendirian di tengah rimba untuk menyelamatkan beberapa keluarga orang utan,
atau wanita yang berani mengambil risiko tertular virus ganas demi menyembuhkan
penyakit seorang anak yang sama sekali tak dikenalnya nun jauh di Somalia.
Bagiku
dan kami murid-murid SD Muhammadiyah, Bu Muslah wanita perkasa yang setiap
harinya selalu mengajarkan kami ilmu dunia akhirat. Dengan pembawaannya yang
lembut namun tegas mampu menyihir kami agar selalu mendengarkan segala nasihat
dan juga ajarannya. Bu Mus yang hanya memiliki selembar ijazah SKP (Surat
Kepandaian Putri), namun beliau bertekad untuk melanjutkan cita-cita ayahnya
K.A Abdul Hamid, pelopor sekolah Muhammadiyah di Belitong untuk terus
mengobarkan pendidikan Islam.
Tekad
itu yang membuat Bu Mus selalu dengan begitu sabar dan senyuman di wajahnya
mengajar di Sekolah kami. Dengan bayaran beras 15 kilo setiap bulannya, Bu Mus menjadi
satu-satunya guru yang kami memiliki. Bu Mus mengajar di semua mata pelajaran
kami. Terdapat beberapa kesempatan, karena kami masih begitu kecil, kami sering
mengeluh dengan keadaan sekolah yang sudah sangat rapuh dan mulai
membandingkannya dengan sekolah lain yang terlihat megah di luar sana. Lalu
dengan sabar dan tidak lupa senyuman membingkai wajahnya Bu Mus mengambil buku
dan memperlihatkannya kepada kami. Di dalam buku itu terdapat sebuah gambar,
gambar itu adalah ruangan yang sempit, dikelilingi tembok yang suram, tinggi,
gelap, dan berjeruji. Kesan di dalamnya begitu pengap, angker, penuh kekerasan
dan kesedihan. “Inilah sel Pak Karno di sebuah penjara di Bandung, disini
beliau menjalani hukuman dan setiap hari belajar. Setiap waktu membaca buku.
Beliau adalah salah satu orang tercerdas yang pernah dimiliki bangsa ini…”
Kami
tersihir mendengar cerita Bu Mus dan seketika cerita tadi membuat kami bungkam
dan tidak lagi memprotes atas keadaan sekolah kami. Seperti biasa, kata-kata Bu
Mus selalu dapat menyihir kami dan terngiang selalu di dalam kalbu.
Bagi
kami, Pak Harfan dan Bu Mus adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang sesungguhnya.
Merekalah mentor, penjaga, sahabat, pengajar dan guru spiritual. Mereka yang
mengajarkan kami secara langsung penerapan amar makruf nahi mungkar sebagai
pegangan moral hidup kami hingga akhir hayat.
0 comments:
Posting Komentar