Jumlah orang Tionghoa
di kampong kami sekitar sepertiga dari total populasi. Ada orang Kek, Hokian,
Tongsan dan ada yang tidak tahu asal usulnya. Bisa saja merekalah yang telah
menghuni Belitong lebih dulu dari siapapun. Aichang, Phok, Kiaw, dan Khaknai
seluruhnya adalah perangkat penambangan timah primitive yang sekarang dianggap
temuan arkeologi, bukti bahwa nenek moyang mereka telah lama sekali dan pekerja
keras. Meskipun jauh terpisah dari akar budayanya namun mereka senantiasa
memelihara adat istiadatnya, dan di Belitong mereka beruntung karena mereka tak
perlu jauh-jauh dating ke Jinchanying kalau hanya ingin melihat Tembok Besar
Cina.
Tembok itulah yang memisahkan kami penduduk desa dengan
PN (Perusahaan Negara), sebuah perusahaan Timah yang paling berpengaruh di
Belitong. Kawasan ter elite yang terdapat di Belitong. PN memiliki jembatan,
jalan tol, real estate dan berbagai property mewah lainnya yang begitu kontras
dengan kehidupan desa Belitong yang miskin. Suatu sore seorang getleman keluar
dari balik tembok itu mengendarai sebuah Chevrolet Corvette, lalu esoknya di
depan sebuah majelis ia mencibir. “Tak satupun kulihat ada anak muda memegang
pacul! Tak pernah kulihat orang-orang muda sedemikian malas seperti di sini..”
Kami adalah buruh tambang, bukan seorang petani yang
setiap hari ditemani pacul untuk berkebun. Kami adalah buruh timah yang bekerja
di atas tanah-tanah kami yang kaya material tambang! Laksana The Tower of
Babel. Orang Melayu yang merogohkan tangannya ke dalam lapisan dangkal
alluvium, hamper di sembarang tempat akan mendapati lengannya berkilauan
dilumuri ilmenit atau timah kosong.
Tuhan memberikan Belitong tanah yang begitu berkilauan
dengan timah hampir di semua sisinya. Bila dilihat dari atas, Belitong akan
terlihat seperti ubur-ubur yang akan memancarkan sinarnya akibat timah yang
begitu melimpah di tanah tercinta kami, Belitong.
0 comments:
Posting Komentar