Pagi itu di SD Muhammadiyah aku
datang bersama ayahhku yang merangkul erat pundakku. Dengan baju yang lusuh
kami menghadiri pembukaan SD Muhammadiyah. Baru Sembilan orang, Sembilan orang
pertama dengan berbagai penampilan yang mayoritas lusuh. Terlihat dua orang
dengan penampilan rapih yang kuduga adalah guru di sekolah ini. Salah satu dari
mereka adalah perempuan dengan kerudung cantik serta wajah yang tak terbaca.
Senyum dengan kecemasan tersirat di wajah kedua guru itu.
‘Baru Sembilan orang Pak Harfan..’ seru guru perempuan
cantik tadi.
‘Kita tunggu sampai pukul sebelas
Bu Mus’ seru Pak Harfan kepada guru perempuan yang baru ku ketahui namanya itu.
Dengan
wajah getir kami semua duduk di ujung-ujung kursi yang sudah doyong dan rapuh.
Wajah-wajah orang tua yang ku lihat sudah begitu putus asa. Memang akan mudah bila orang tua kami ini
mengantarkan anak-anaknya untuk bekerja di pasar. Namun karena desakan aparat
Belitong yang mengharuskan para orang tua yang akan dianggap memaksa anak-anaknya
menjadi pekerja di pasar dan menjadikan anak-anaknya buta huruflah yang menjadi
dorongan orang tua di sini mau tak mau menyekolahkan anak-anaknya.
SD
Muhammadiyah inilah satu-satunya sekolah yang tidak mengenakan iuran apapun
untuk siswa-siswanya, maka dari itu ayahku menyekolahkanku di sini. Untuk orang
tua yang memiliki banyak anak, tidaklah mudah mengantarkan anaknya bersekolah
sedangkan keperluan rumah tangga begitu banyak. Namun ayahku ingin agar aku
bersekolah untuk dapat mencerahkan masa depan keluarga kami.
Peluh
telah membasahi wajah Bu Mus, dengan bedak tepung beras yang telah luntur
diwajahnya menjadikan wajahnya semakin terlihat kecemasannya. Menunggu murid
kesepuluh yang apabila tidak datang maka SD Muhammadiyah ini akan ditutup. Pak
Harfan selaku Kepala Sekolah di Sekolah ini ternyata diam-diam telah menyiapkan
pidato untuk penutupan SD Muhammadiyah ini.
‘Harun……’ seru wanita berpakaian
lusuh yang mengejar seorang anak berkaki X yang berlarian kearah bangunan
sekolah.
Bu
Mus terlihat begitu senang, senyum merekah di wajahnya dengan kehadiran Harun
murid kesepuluh di SD ini. Karena Sekolah untuk anak berlebutuhan khusus pada
saat itu belum terdapat di Belitong, maka Harun dapat diterima di Sekolah ini.
0 comments:
Posting Komentar