Rabu, 27 April 2016

Kata Serapan yang digunakan di Bahasa Indonesia

Bahasa Belanda yang diserap ke Bahasa Indonesia
1.       Amatir = Amateur
2.       Akkoord  = Akur
3.       Aklamasi = Acclamatie
4.       Akte = Akte
5.        Atlet = Atleet
6.       Berita = Berichten
7.        Bombardir = Bombarderen
8.       Butik = Boetiek
9.       Besuk = Bezoek
10.   Coklat = Chocolade
11.   Debitur = Debiteur
12.   Diet = Dieet
13.   Dosen = Docent
14.   Egois = Egoistisch
15.   Es = Ijs
16.   Etnis = Etnisch
17.   Etiket = Etiquette
18.   Hotel = Hotel
19.   Bagasi = Bagage
20.   Bak = Bak
21.   Bakteri = Bacterie
22.   Balada = Ballade
23.   Balkon = Balkon
24.   Balok = Balk
25.   Balon = Ballon
26.   Balsem = Balsem
27.   Ban = Band
28.   Banderol = Banderol
29.   Bank = Bank
30.   Bandit = Bandiet
31.   Bangku = Bank
32.   Bangkrut = Bankroet
33.   Barak = Barak
34.   Baret = Baret
35.   Baskom = Waskom
36.   Basis = Basis
37.   Batalyon (bataljon)
38.   Batere (batterij)
39.   Baut (bout)
40.   Bayonet (bajonet)
41.   Bazar (bazaar)
42.   Beken (bekend)
43.   Bel (bel)
44.   Belasting (belasting)
45.   Bendel (bundel)
46.   Bengkel (winkel): tempat kerja, arti sebenarnya sekarang adalah "toko" namun zaman dahulu adalah "sudut".
47.   Bensin (benzine)
48.   Berita (berichten)
49.   Berlian (briljant)
50.   Bestek (bestek)
51.   Besuk (bezoek)
52.   Beton (beton)
53.   Begel (beugel)
54.   Biliar (biljart)
55.   Bilyet (biljet)
56.   Biografi (biografie)
57.   Bioskop (bioscoop)

Bahasa Inggris yang diserap ke Bahasa Indonesia
1.      Application = Aplikasi
2.      Actor = Aktor
3.      Aquarium = Akuarium
4.      Allergy = Alergi 
5.      Account = Akun
6.      Aerobic = Aerobik
7.      Ballpoint = Bolpen
8.      Bomb = Bom
9.      Bus = Bis
10.  Boss = Bos
11.  Balloon = Balon
12.  Business = Bisnis
13.  Book = Buku
14.  Calculator = Kalkulator
15.  Cartoon = kartun
16.  Cellular = Seluler
17.  Coin = Koin
18.  Coffee = Kopi
19.  Community = Komunitas
20.  Copy = Salin
21.  Conglomerate = Konglomerat
22.  Conducive = Kondusif
23.  Detail = detail 
24.  Data = Data 
25.  Design = Desain
26.  Discount = Diskon
27.  Director = Direktur
28.  Dimension = Dimensi
29.  Edition = Edisi
30.  Ecology = Ekologi
31.  Embryo = Embrio
32.  Erosion = Erosi
33.  Export = Ekspor
34.  Essay = Esai
35.  Enzyme = Enzim


Fildzah Azka
13113472
3KA13


Rabu, 13 April 2016

Laskar Pelangi: Center of Excellence

             Sekolah-sekolah PN Timah, yaitu TK, SD, dan SMP PN berada dalam kawasan Gedong. Sekolah-sekolah ini berdiri megah di bawah naungan Aghatis berusia ratusan tahun dan dikelilingi pagar besi tinggi berulir melambangkan kedisiplinan dan mutu tinggi pendidikan. Sekolah PN merupakan center of excellence atau tempat bagi semua hal yang terbaik. Sekolah ini demikian kaya raya karena didukung sepenuhnya oleh PN Timah, sebuah korporasi yang kelebihan duit. Institusi pendidikan yang sangat modern ini lebih tepat disebut percontohan bagaimana seharusnya generasi muda dibina.Gedung-gedung sekolah PN didesain dengan arsitektur yang tak kalah indahnya dengan rumah bergaya Victoria di sekitarnya. Ruangan kelasnya dicat warna-warni dengan tempelan gambar kartun yang edukatif, poster operasi dasar matematika, table pemetaan unsur kimia, peta dunia, jam dinding, termometer, foto para ilmuwan dan penjelajah yang memberi inspirasi, dan ada kapstok topi. Di setiap kelas ada patung anatomi tubuh yang lengkap, globe yang besar, white board , dan alat peraga konstelasi planet-planet.
                  Kepala sekolahnya adalah seorang pejabat penting, Ibu Frischa namanya. Caranya ber- make up jelas memperlihatkan dirinya sedang bertempur mati-matian melawan usia dan tampak jelas pula, dalam pertempuran itu, beliau telah kalah. Ia seorang wanita keras yang terpelajar, progresif, ambisius, dan sering habis habisan menghina sekolah kampung. Gerak geriknya diatur sedemikian rupa sebagai penegasan kelas sosialnya. Di dekatnya siapa pun akan merasa terintimidasi. Kalau sempat berbicara dengan beliau, maka ia sama seperti orang Melayu yang baru belajar memasak, bumbunya cukup tiga macam: pembicaraan tentang fasilitas- fasilitas sekolah PN, anggaran ekstrakurikuler jutaan rupiah, dan tentang murid-muridnya yang telah menajdi dokter, insinyur, ahli ekonomi, pengusaha, dan orang-orang sukses di kota atau bahkan di luar negeri. Bagi kami yang waktu itu masih kecil, 48 Laskar Pelangi masih berpandangan hitam putih, beliau adalah seorang tokoh antagonis.

                  Yang dimaksud dengan sekolah kampung tentu saja adalah perguruan Muhammadiyah dan beberapa sekolah swasta miskin lainnya di Belitong. Selain sekolah miskinitu memang terdapat pula beberapa sekolah negeri di kampung kami. Namun kondisi sekolah negeri tentu lebih baik karena mereka disokong oleh negara. Sementara sekolah kampung adalah sekolah swadaya yang kelelahan menyokong dirinya sendiri.

Laskar Pelangi: Zoom Out

                Tak disangsikan jika dizoom out, Belitong adalah kampong terkaya di Indonesia. Inilah kampung yang menghasilkan timah dengan harga selangit melebihi puluhan kali lipat segantang padi. Triliunan asset tertanam, miliran rupiah uang berputar sangat cepat. Namun jika dizoom in, kekayaan itu terperangkap di dalam wilayah PN bertembok besar dengan rumah gedong dan kawasan elite serta fasilitas berlimpah. Hanya berbeda beberapa jengkal namun dapat terlihat antara perbedaan langit dan bumi. Di luar tembok Gedong, hidup komunitas Melayu Belitong yang jika belum punya enam anak belum berhenti beranak pinak.
                  Jalan raya di kampung ini panas menggelegak dan ingar binger oleh suara logam yang saling beradu ketika truk reyot-reyot jalan melintas. Kawasan kampung ini dapat disebut sebagai urban atau perkotaan. Umumnya tujuh macam profesi tumpang tindih di sini: kuli PN sebagai mayoritas, penjaga toko, pegawai negeri, pengangguran, pegawai kantor desa, pedagang, dan pensiunan. Sepanjang waktu mereka hilir mudik dengan sepeda. Semuanya, para penduduk, kambing, entok, ayam, dan seluruh bangunan itu tampak berdebu, tak teratur, tak berseni, dan kusam.
                  Kekuatan ekonomi Belitong dipimpin oleh orang staf PN dan para cukong swasta yang mengerjakan setiap konsesi eksploitasi timah. Mereka menempati strata tertinggi dalam lapisan yang sangat tipis. Kelas menengah tak ada, oh atau mungkin juga ada, yaitu para camat, para kepala dinas dan pejabat-pejabat publik yang korupsi kecil- kecilan, dan aparat pen egak hukum yang mendapat uang dari menggertaki cukong- cukong itu. Sisanya berada di lapisan terendah, jumlahnya banyak dan perbedaannya amat mencolok dibanding kelas di atasnya. Mereka adalah para pegawai kantor desa, karyawan rendahan PN, pencari madu dan nira, para pemain organ tunggal, semua orang Sawang, semua orang Tionghoa kebun, semua orang Melayu yang hidup di pesisir, para tenaga honorer Pemda, dan semua guru dan kepala sekolah—baik sekolah negeri maupun sekolah kampung—kecuali guru dan kepala sekolah PN.



Laskar Pelangi: Gedong

             Pulau Belitong yang makmur seperti mengasingkan diri dari tanah Sumatra yang membujur dan di sana mengalir kebudayaan Melayu tua. Pada abad e-19, ketika korporasi secara sistematis mengeksploitasi timah, kebudayaan bersahaja itu mulai hidup dalam karakeristik sosiologi yang atribut-atributnya mencerminkan perbedaan yang sangat mencolok seolah berdasarkan kasta-kasta. Kasta majemuk itu tersusun rapih di dalam tembok tinggi yang begitu kokoh, di dalamnya tersusun rumah-rumah yang tinggi menjulang bak istana para raja. Dengan desain yang intelek dan juga terksesan kuno ala Victoria, kasta majemuk itu terdiri dari orang-orang PN atau orang staf yang dilimpahi dengan berbagai fasilitas mulai dari kesehatan, transportasi,hiburan,pendidikan,promosi hingga sekolah-sekolah yang begitu berbeda dengan Belitong.
        Perumahan yang tersusun rapih dengan hiasan-hiasan seperti taman yang dipenuhi bunga, danau-danau buatan, membuat sedap mata yang memandangnya. Tak ada parit karena semua system pembuangan dilakukan di dalam tanah. Pekarangan ditumbuhi bamboo Jepang, parit raja, angsa-angsa besar yang berkeliara, dan café members only. Wilayah ini sangat tenang dan tidak berisik, kecuali sedikit bunyi dari angjing yang berlarian mengejar kucing angora.
           Namun, selain suara itu terdengar suara tuts piano yang sedang dimainkan secara professional. Floriana atau Flo yang tomboy, terlihat sedang mengikuti privat kursus pianonya. Dengan sifatnya yang tomboy Flo terlihat sangat tidak bersemangat dan seringkali menguap menahan kantuk dan rasa bosannya melihat dan mendengar tuts dari piano ini. keluarga Flo adalah salah satu keluarga yang tinggal di dalam wilayah Gedong. Ayahnya merupakan lulusan dari salah satu Universitas di Holland dengan jurusan Teknik Mesin. Seorang Melayu dari Belitong yang pantas untuk tinggal di dalam wilayah bertembok tinggi berkat kerja keras dan otak cerdasnya. Flo adalah anak bungsu dan putrid satu-satunya dalam keluarganya. Karena dikelilingi oleh saudara laki-laki membuat Flo selalu ingin menjadi laki-laki, salahs atunya dengan menggemari kick boxing dan juga angkat barbell, rambutnya pun dipotong lurus pendek yang dipadankan dengan jeans dan kaus oblong. Ketika guru privatnya menekan tuts piano sambil mengenalkan notasi do, mi, sol, si. Flo menguap lagi..



Laskar Pelangi: The Tower of Babel

            Jumlah orang Tionghoa di kampong kami sekitar sepertiga dari total populasi. Ada orang Kek, Hokian, Tongsan dan ada yang tidak tahu asal usulnya. Bisa saja merekalah yang telah menghuni Belitong lebih dulu dari siapapun. Aichang, Phok, Kiaw, dan Khaknai seluruhnya adalah perangkat penambangan timah primitive yang sekarang dianggap temuan arkeologi, bukti bahwa nenek moyang mereka telah lama sekali dan pekerja keras. Meskipun jauh terpisah dari akar budayanya namun mereka senantiasa memelihara adat istiadatnya, dan di Belitong mereka beruntung karena mereka tak perlu jauh-jauh dating ke Jinchanying kalau hanya ingin melihat Tembok Besar Cina.
            Tembok itulah yang memisahkan kami penduduk desa dengan PN (Perusahaan Negara), sebuah perusahaan Timah yang paling berpengaruh di Belitong. Kawasan ter elite yang terdapat di Belitong. PN memiliki jembatan, jalan tol, real estate dan berbagai property mewah lainnya yang begitu kontras dengan kehidupan desa Belitong yang miskin. Suatu sore seorang getleman keluar dari balik tembok itu mengendarai sebuah Chevrolet Corvette, lalu esoknya di depan sebuah majelis ia mencibir. “Tak satupun kulihat ada anak muda memegang pacul! Tak pernah kulihat orang-orang muda sedemikian malas seperti di sini..”
            Kami adalah buruh tambang, bukan seorang petani yang setiap hari ditemani pacul untuk berkebun. Kami adalah buruh timah yang bekerja di atas tanah-tanah kami yang kaya material tambang! Laksana The Tower of Babel. Orang Melayu yang merogohkan tangannya ke dalam lapisan dangkal alluvium, hamper di sembarang tempat akan mendapati lengannya berkilauan dilumuri ilmenit atau timah kosong.

            Tuhan memberikan Belitong tanah yang begitu berkilauan dengan timah hampir di semua sisinya. Bila dilihat dari atas, Belitong akan terlihat seperti ubur-ubur yang akan memancarkan sinarnya akibat timah yang begitu melimpah di tanah tercinta kami, Belitong.

Laskar Pelangi: Perempuan-Perempuan Perkasa

                 Aku pernah membaca kisah tentang wanita yang membelah batu karang untuk mengaliran air, wanita yang meneggelamkan diri belasan tahun sendirian di tengah rimba untuk menyelamatkan beberapa keluarga orang utan, atau wanita yang berani mengambil risiko tertular virus ganas demi menyembuhkan penyakit seorang anak yang sama sekali tak dikenalnya nun jauh di Somalia.
                Bagiku dan kami murid-murid SD Muhammadiyah, Bu Muslah wanita perkasa yang setiap harinya selalu mengajarkan kami ilmu dunia akhirat. Dengan pembawaannya yang lembut namun tegas mampu menyihir kami agar selalu mendengarkan segala nasihat dan juga ajarannya. Bu Mus yang hanya memiliki selembar ijazah SKP (Surat Kepandaian Putri), namun beliau bertekad untuk melanjutkan cita-cita ayahnya K.A Abdul Hamid, pelopor sekolah Muhammadiyah di Belitong untuk terus mengobarkan pendidikan Islam.
                Tekad itu yang membuat Bu Mus selalu dengan begitu sabar dan senyuman di wajahnya mengajar di Sekolah kami. Dengan bayaran beras 15 kilo setiap bulannya, Bu Mus menjadi satu-satunya guru yang kami memiliki. Bu Mus mengajar di semua mata pelajaran kami. Terdapat beberapa kesempatan, karena kami masih begitu kecil, kami sering mengeluh dengan keadaan sekolah yang sudah sangat rapuh dan mulai membandingkannya dengan sekolah lain yang terlihat megah di luar sana. Lalu dengan sabar dan tidak lupa senyuman membingkai wajahnya Bu Mus mengambil buku dan memperlihatkannya kepada kami. Di dalam buku itu terdapat sebuah gambar, gambar itu adalah ruangan yang sempit, dikelilingi tembok yang suram, tinggi, gelap, dan berjeruji. Kesan di dalamnya begitu pengap, angker, penuh kekerasan dan kesedihan. “Inilah sel Pak Karno di sebuah penjara di Bandung, disini beliau menjalani hukuman dan setiap hari belajar. Setiap waktu membaca buku. Beliau adalah salah satu orang tercerdas yang pernah dimiliki bangsa ini…”
                Kami tersihir mendengar cerita Bu Mus dan seketika cerita tadi membuat kami bungkam dan tidak lagi memprotes atas keadaan sekolah kami. Seperti biasa, kata-kata Bu Mus selalu dapat menyihir kami dan terngiang selalu di dalam kalbu.

                Bagi kami, Pak Harfan dan Bu Mus adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang sesungguhnya. Merekalah mentor, penjaga, sahabat, pengajar dan guru spiritual. Mereka yang mengajarkan kami secara langsung penerapan amar makruf nahi mungkar sebagai pegangan moral hidup kami hingga akhir hayat.

Laskar Pelangi: Inisiasi

            Tidak perlu membicarakan sekolah kami yang begitu rapuh bahkan sentuhan hewan yang tidak sabar ingin kawin pun dapat meruntuhkannya. Sekolah kami memiliki enam kelas, saat pagi kelas itu digunakan untuk Sekolah Dasar sedangkan siang sekolah ini dijadikan untuk Sekolah Menengah Pertama. Sembilan tahun kami bersekolah di Sekolah ini dengan susunan bangku yang sama dan teman dan guru yang sama pula. Kami kekurangan guru dan siswa, di Sekolah kami bahkan tidak memakai seragam. Kotak P3K pun tidak tersedia, maka apabila terdapat anak murid yang sakit guru pun akan memberi kami pil besar dengan tulisan APC. Obat legendaries di Belitong yang dipercayai dapat menyembuhkan segala macam penyakit.
                Sekolah kami tidak pernah didatangi oleh pejabat ataupun tukang yang sekedar berjualan. Satu-satunya orang yang akan berkunjung ke Sekolah kami hanyalah pesuruh dari dinas pendidikan yang akan menyemprotkan DDT atau obat nyamuk di Sekolah kami. Kami bersorak kegirangan karena kepulan asap putih sesaat setelah asap DDT disemprotkan.

                Sekolah kami tidak dijaga oleh siapapun dan apapun karena memang tidak terdapat barang berharga pula yang dapat dicuri. Satu-satunya benda yang menandakan bangunan ini adalah Sekolah adalah tiang bendera dengan bamboo kuning dan sebuah papan tulis hijau yang tergantung miring SD MD Sekolah Dasar Muhammadiyah, lalu persis di bawahnya terdapat tulisan arab gundul yang berarti “menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar”. Tulisan itulah yang kami ingat hingga saat ini.

Laskar Pelangi: Antediluvium

            Dengan senyum sumringah Bu Mus berdiri dan mengahampiri orang tua kami masing-masing. Mengabsen anak-anak murid barunya dan segera mengatur tempat duduk kami. Sedangkan aku masih belum mendapatkan teman sebangku. Terlihat anak berambut  merah ikal yang sedari awal tadi tak kukenal begitu bersemangat untuk segera masuk ke dalam kelas.
‘Anak Pak Cik akan duduk bersama Lintang’ seru Bu Mus.
Oh Lintanglah namanya, seruku di dalam hati.
              Terlihat di luar kelas ayah Lintang berbincang agak lama dengan Bu Mus. Menceritakan latar belakang keluarganya dan apa tujuannya menyekolahkan Lintang di SD Muhammadiyah ini. Keluarga Lintang adalah keluarga nelayan yang bertempat tinggal di ujung Sumatra, mayoritas penduduk di sana adalah menjadi nelayan. Dan ayah Lintang ingin agar anak tertuanya tidak menjadi seperti dirinya dan keluarga besarnya yang tidak pernah mengenyam pendidikan dan menjadi nelayan hingga sampai saat ini.

               Bu Mus mengelompokkan kami berdasarkan kemiripan. Aku di tempatkan bersama Lintang karena rambut kami yang sama-sama ikal. Mahar bersama Trapani karena mereka berdua sama-sama tampan.  Bore dan kucai ditempat dudukkan bersama bukan karena kemiripan melainkan karena mereka berdua sama-sama susah diatur.  Dan Sahara bersama Akiong. Pagi itu, pandanganku lebih terpaku kepada Lintang. Anak berambut ikal keturunan nelayan yang akan mengubah sekolah nan miskin ini menjadi lebih gemilang dengan tulisan-tulisan cerdasnya yang sudah terlihat sejak hari ini. Suatu perasaan yang tidak akan aku lupakan sampai bertahun-tahun lamanya.

Laskar Pelangi: Sepuluh Murid Baru

              Pagi itu di SD Muhammadiyah aku datang bersama ayahhku yang merangkul erat pundakku. Dengan baju yang lusuh kami menghadiri pembukaan SD Muhammadiyah. Baru Sembilan orang, Sembilan orang pertama dengan berbagai penampilan yang mayoritas lusuh. Terlihat dua orang dengan penampilan rapih yang kuduga adalah guru di sekolah ini. Salah satu dari mereka adalah perempuan dengan kerudung cantik serta wajah yang tak terbaca. Senyum dengan kecemasan tersirat di wajah kedua guru itu.
‘Baru Sembilan orang Pak Harfan..’ seru guru perempuan cantik tadi.
‘Kita tunggu sampai pukul sebelas Bu Mus’ seru Pak Harfan kepada guru perempuan yang baru ku ketahui namanya itu.
                Dengan wajah getir kami semua duduk di ujung-ujung kursi yang sudah doyong dan rapuh. Wajah-wajah orang tua yang ku lihat sudah begitu putus asa.  Memang akan mudah bila orang tua kami ini mengantarkan anak-anaknya untuk bekerja di pasar. Namun karena desakan aparat Belitong yang mengharuskan para orang tua yang akan dianggap memaksa anak-anaknya menjadi pekerja di pasar dan menjadikan anak-anaknya buta huruflah yang menjadi dorongan orang tua di sini mau tak mau menyekolahkan anak-anaknya.
                SD Muhammadiyah inilah satu-satunya sekolah yang tidak mengenakan iuran apapun untuk siswa-siswanya, maka dari itu ayahku menyekolahkanku di sini. Untuk orang tua yang memiliki banyak anak, tidaklah mudah mengantarkan anaknya bersekolah sedangkan keperluan rumah tangga begitu banyak. Namun ayahku ingin agar aku bersekolah untuk dapat mencerahkan masa depan keluarga kami.
                Peluh telah membasahi wajah Bu Mus, dengan bedak tepung beras yang telah luntur diwajahnya menjadikan wajahnya semakin terlihat kecemasannya. Menunggu murid kesepuluh yang apabila tidak datang maka SD Muhammadiyah ini akan ditutup. Pak Harfan selaku Kepala Sekolah di Sekolah ini ternyata diam-diam telah menyiapkan pidato untuk penutupan SD Muhammadiyah ini.
‘Harun……’ seru wanita berpakaian lusuh yang mengejar seorang anak berkaki X yang berlarian kearah bangunan sekolah.

                Bu Mus terlihat begitu senang, senyum merekah di wajahnya dengan kehadiran Harun murid kesepuluh di SD ini. Karena Sekolah untuk anak berlebutuhan khusus pada saat itu belum terdapat di Belitong, maka Harun dapat diterima di Sekolah ini.
 

Salazen Grum Template by Ipietoon Cute Blog Design